Sinopsis
dan resensi Larasati (Pramoedya Ananta Toer)
LARASATI – sebuah roman revolusi semasa perjuangan
bersenjata 1945-1950. Kisah tentang pemuda-pemuda Indonesia yang rela
membaktikan jiwa raga demi proklamasi kemerdekaan, kisah-kisah tentang para pahlawan
sejati dan pahlawan munafik, pertarungan di daerah republik dan daerah
pendudukan Belanda – antara yang setia dan yang menyeberang, antara uang ORI
dan uang Nica, dengan wanita sebagai tokoh utama – bintang film tenar yang
dengan caranya sendiri memberikan diri dan segalanya untuk kemenangan revolusi.
Potret revolusi semasa yang menghidupkan kembali sepenggal sejarah di
tahun-tahun awal proklamasi kemerdekaan, sebuah potret jujur gaya Pramoedya
tentang kebesaran dan kekerdilan, kekuatan dan kelemahan revolusi. Sebuah fiksi
yang menghanyutkan kita seakan menghayati kembali suatu dokumentasi non fiksi
Indonesia semasa romantika pertempuran berkecamuk di “jaman bersiap!”
“Kalau mati, dengan berani; kalau hidup dengan
berani ; kalau keberanian tidak ada, itulah sebabnya bangsa asing bisa jajah
kita.”
Suatu roman karya Alm.Pram yang menceritakan
pergolakan revolusi di Indonesia setelah pascaproklamasi. Larasati yang
merupakan seorang bintang film di jaman itu mencoba menjadi bagian dari
revolusi itu. Ia mengawali revolusi sejak perpindahannya dari pendalaman Yogya,
menuju ke pendudukan Jakarta. Selama perjalanan, ia melihat begitu besarnya
semangat revolusi dalam diri pemuda. Sebuah selendang merah pun diberikan
kepadanya dalam perjalanannya ke Jakarta. Selendang yang ia sendiri anggap
sebagai bukti semangat revolusi dalam diri pemuda.
Larasati digambarkan sebagai sosok wanita yang
keras, dan tak kenal kompromi. Sampai pada waktunya ia dibawa untuk melihat
suasana di dalam penjara. Begitu pilunya suasana di dalam penjara tersebut, tak
ada belas kasihan bagi mereka yang melawan.
Dalam perjuangan revolusinya, Larasati bertemu
Martabat, seorang supir/opsir yang dipekerjakan secara paksa oleh NICA.
Martabat yang membawa Larasati kembali bertemu dengan ibunya Lasmidjah. Bersama
ibunya, Larasati menghadapi suasana peperangan di kampung halamannya sendiri.
Setiap malam selalu saja ada ketakutan, selalu aja ada suara tembakan yang
menghantui.
Suatu hari seorang Arab datang untuk menemui
Larasati. Jarsam namanya. Ia meminta Larasati untuk menjadi penyanyi di grup
gambusnya. Larasati sendiri menolak ajakan tersebut. Akibat dari penolakan
tersebut, Jarsam pun menahan Lasmidjah di rumahnya yang mewah.
Setahun berlalu sejak terakhir kalinya Larasati
bertemu dengan ibunya. Dalam suatu hari perjalanannya yang tak tentu arahnya,
ia bertemu dengan seorang teman lamanya, seorang pengarang, Chaidir namanya.
Chaidir sendiri beranggapan bahwa revolusi sudah tercemar akibat ulah para
pemimpin. Tak lama setelah Larasati menemui Chaidir, Jarsam memaksa Larasati
untuk tinggal di rumahnya. Perjuangan revolusi Larasati sepertinya sudah
menemui jalan buntu. Ia tidak diizinkan keluar rumah oleh Jarsam, sampai-sampai
pada suatu saat ia mendengar bahwa Chaidir telah meninggal. Baginya revolusi
seperti sudah tidak ada ketika mendengar kabar tersebut.
Dan perjuangan revolusi pun pada akhirnya membuahkan
hasil beberapa tahun kemudian. Larasati pun hidup dalam kemenangan revolusi itu
bersama pria yang dicintainya yakni Oding.
“Apa gunanya berbohong di dunia ini? Kalau yang
benar harus dinamai bohong, dimana tempat kebohongan kemudian di dalam hidup
manusia ini?” ( Larasati – hal.40 )
“Hanya angkatan tua yang korup dan mengajak korup!
Angkatan muda membuat revolusi ” (Larasati – hal.46 )
“Pemuda itu sedang melahirkan sejarah” ( Orang tua
cacat di kereta – hal.26 )
“Mengapa dunia ini begini penuh iga manusia busuk?
Hanya karena mau hidup lebih sejathera daripada yang lain? Apakah kesejatheraan
hidup sama dengan kebusukan buat orang lain? Alangkah sia-sia pendidikan orang
tua kalau demikian. Alangkah sia-sia pendidikan agama. Alangkah sia-sia guru
dan sekolah-sekolah ( Larassati – hal.48 )
“Nona, malam ini aku kalah” ( Ma’in pemimpin pemuda
– hal.107 )
“Kalau mati, dengan berani; kalau hidup dengan berani
; kalau keberanian tidak ada, itulah sebabnya bangsa asing bisa jajah kita.” (
Ma’in pemimpin pemuda – hal.121 )
Kau mesti belajar menjawab pekik Merdeka, Tabat,
biarpun perlahan.” ( Larasati – hal.126 )
“Biar segala-galanya terjadi sekarang. Kita adalah
pemenang. Kitalah yang menghaki semua-semuanya.” ( Oding – hal.178 )