Kamis, 18 Oktober 2018

Sinopsis dan resensi Larasati (Pramoedya Ananta Toer)



Sinopsis dan resensi Larasati (Pramoedya Ananta Toer)

LARASATI – sebuah roman revolusi semasa perjuangan bersenjata 1945-1950. Kisah tentang pemuda-pemuda Indonesia yang rela membaktikan jiwa raga demi proklamasi kemerdekaan, kisah-kisah tentang para pahlawan sejati dan pahlawan munafik, pertarungan di daerah republik dan daerah pendudukan Belanda – antara yang setia dan yang menyeberang, antara uang ORI dan uang Nica, dengan wanita sebagai tokoh utama – bintang film tenar yang dengan caranya sendiri memberikan diri dan segalanya untuk kemenangan revolusi. Potret revolusi semasa yang menghidupkan kembali sepenggal sejarah di tahun-tahun awal proklamasi kemerdekaan, sebuah potret jujur gaya Pramoedya tentang kebesaran dan kekerdilan, kekuatan dan kelemahan revolusi. Sebuah fiksi yang menghanyutkan kita seakan menghayati kembali suatu dokumentasi non fiksi Indonesia semasa romantika pertempuran berkecamuk di “jaman bersiap!”
“Kalau mati, dengan berani; kalau hidup dengan berani ; kalau keberanian tidak ada, itulah sebabnya bangsa asing bisa jajah kita.”
Suatu roman karya Alm.Pram yang menceritakan pergolakan revolusi di Indonesia setelah pascaproklamasi. Larasati yang merupakan seorang bintang film di jaman itu mencoba menjadi bagian dari revolusi itu. Ia mengawali revolusi sejak perpindahannya dari pendalaman Yogya, menuju ke pendudukan Jakarta. Selama perjalanan, ia melihat begitu besarnya semangat revolusi dalam diri pemuda. Sebuah selendang merah pun diberikan kepadanya dalam perjalanannya ke Jakarta. Selendang yang ia sendiri anggap sebagai bukti semangat revolusi dalam diri pemuda.
Larasati digambarkan sebagai sosok wanita yang keras, dan tak kenal kompromi. Sampai pada waktunya ia dibawa untuk melihat suasana di dalam penjara. Begitu pilunya suasana di dalam penjara tersebut, tak ada belas kasihan bagi mereka yang melawan.
Dalam perjuangan revolusinya, Larasati bertemu Martabat, seorang supir/opsir yang dipekerjakan secara paksa oleh NICA. Martabat yang membawa Larasati kembali bertemu dengan ibunya Lasmidjah. Bersama ibunya, Larasati menghadapi suasana peperangan di kampung halamannya sendiri. Setiap malam selalu saja ada ketakutan, selalu aja ada suara tembakan yang menghantui.
Suatu hari seorang Arab datang untuk menemui Larasati. Jarsam namanya. Ia meminta Larasati untuk menjadi penyanyi di grup gambusnya. Larasati sendiri menolak ajakan tersebut. Akibat dari penolakan tersebut, Jarsam pun menahan Lasmidjah di rumahnya yang mewah.
Setahun berlalu sejak terakhir kalinya Larasati bertemu dengan ibunya. Dalam suatu hari perjalanannya yang tak tentu arahnya, ia bertemu dengan seorang teman lamanya, seorang pengarang, Chaidir namanya. Chaidir sendiri beranggapan bahwa revolusi sudah tercemar akibat ulah para pemimpin. Tak lama setelah Larasati menemui Chaidir, Jarsam memaksa Larasati untuk tinggal di rumahnya. Perjuangan revolusi Larasati sepertinya sudah menemui jalan buntu. Ia tidak diizinkan keluar rumah oleh Jarsam, sampai-sampai pada suatu saat ia mendengar bahwa Chaidir telah meninggal. Baginya revolusi seperti sudah tidak ada ketika mendengar kabar tersebut.
Dan perjuangan revolusi pun pada akhirnya membuahkan hasil beberapa tahun kemudian. Larasati pun hidup dalam kemenangan revolusi itu bersama pria yang dicintainya yakni Oding.        
“Apa gunanya berbohong di dunia ini? Kalau yang benar harus dinamai bohong, dimana tempat kebohongan kemudian di dalam hidup manusia ini?” ( Larasati – hal.40 )
“Hanya angkatan tua yang korup dan mengajak korup! Angkatan muda membuat revolusi ” (Larasati – hal.46 )
“Pemuda itu sedang melahirkan sejarah” ( Orang tua cacat di kereta – hal.26 )
“Mengapa dunia ini begini penuh iga manusia busuk? Hanya karena mau hidup lebih sejathera daripada yang lain? Apakah kesejatheraan hidup sama dengan kebusukan buat orang lain? Alangkah sia-sia pendidikan orang tua kalau demikian. Alangkah sia-sia pendidikan agama. Alangkah sia-sia guru dan sekolah-sekolah ( Larassati – hal.48 )
“Nona, malam ini aku kalah” ( Ma’in pemimpin pemuda – hal.107 )
“Kalau mati, dengan berani; kalau hidup dengan berani ; kalau keberanian tidak ada, itulah sebabnya bangsa asing bisa jajah kita.” ( Ma’in pemimpin pemuda – hal.121 )
Kau mesti belajar menjawab pekik Merdeka, Tabat, biarpun perlahan.” ( Larasati – hal.126 )
“Biar segala-galanya terjadi sekarang. Kita adalah pemenang. Kitalah yang menghaki semua-semuanya.” ( Oding – hal.178 )

solusi melupakan seseorang yang pernah hadir

TRUE STORY 20 AGUSTUS 2019 Hallo saya anis, Welcome back to my Dear Deary ... Semakin ingin melupakan semakin susah melepask...